02. Salah Rute


“Bagaimana jika tersesatnya kita menyimpan sebuah makna?”

Kalian pernah tersesat nggak waktu melakukan perjalanan? Misalnya nggak tahu lagi ada di mana, salah rute, atau lupa jalan?

Belum lama ini, aku pergi jalan-jalan bersama beberapa temanku. Awalnya semua berjalan normal. Kami menghabiskan waktu dengan kegiatan yang menyenangkan. Namun, ada satu masalah.

Terlalu banyak berjalan dengan sepatu yang ‘tidak biasa dipakai’ membuat kakiku lecet. Meski sudah diobati dengan plester rasanya tetap saja sakit. Singkat cerita, akhirnya kami pulang juga. Pikirku saat itu, aku hanya ingin cepat sampai rumah. Siapa juga yang betah berlama-lama di luar saat kakinya sakit untuk berjalan?

Kami pulang dengan rute yang berbeda, sebab tujuan kami berbeda, yaitu rumah masing-masing. Aku pulang bersama satu temanku karena kami satu rute, sedangkan temanku yang lain pulang dengan rute yang berbeda. Kami pun berpisah. Kita mencapai klimaks dari cerita ini.

Sebenarnya, kami pergi ke tempat yang cukup familiar. Aku pernah beberapa kali pergi ke sana dan semua aman-aman saja sejauh ini. Namun, biasanya aku selalu turun dan naik dari halte A, tempat pemberhentian akhir dari bus yang kami tumpangi.

Kali ini, kami pergi jalan-jalan ke banyak tempat (dengan jalan kaki) tentu saja. Saat pergi, kami turun di halte A. Namun, ketika pulang, tempat kami berada cukup jauh untuk kembali ke halte A. Mengingat kondisi kakiku yang lecet, sepertinya sangat menyusahkan jika harus berjalan kembali ke halte A. Kami pun pulang dari halte B, sebab halte B merupakan halte transit yang terintegrasi, sehingga sangat besar dan cukup komplit. Kami juga menyelesaikan salat asar di sana.

Rencanaku saat itu adalah naik bus dari halte B untuk pulang ke rumahku dengan turun di halte C. Ternyata rutenya tidak semudah itu. Tidak ada bus dari halte B yang menuju halte C. Sebab, di halte B beberapa rute bus hanya untuk satu arah. Loh, lalu aku pulangnya gimana?

Setelah aku tanya petugasnya, aku diarahkan untuk naik bus dari halte B menuju halte A (pemberhentian terakhir). Baru setelahnya dari halte A aku naik bus dengan nomor yang sama untuk menuju halte C (tentu saja arah pulangnya tidak melewati halte B karena satu arah, jadi bus tersebut hanya lewat halte B saat perginya saja).

Permasalahannya di sini adalah transit bus di halte A cukup menyulitkan. Kenapa? Karena naik turun tangga! Sedangkan kakiku lecet. Sebenarnya memang bukan hal besar juga, tapi dari tadi aku yang malah membesar-besarkan masalah.

Akhirnya, aku memilih rute lain. Pokoknya gimana kek yang penting aku naik dari halte B dan nggak perlu kembali ke halte A. Petugasnya mengarahkan lagi, aku bisa naik bus 1 dari halte B dan turun di halte F sisi kanan, lalu nunggu bus 2 dari halte F sisi kiri (maksudnya di halte yang sama dengan koridor berbeda, bus ke arah sebaliknya) nanti turunnya di halte C. Kalau dijelaskan mungkin bikin pusing, tapi setelah dijalani nggak seribet itu kok.

Mood-ku sudah nggak bagus sejak kakiku lecet. Ditambah adanya kejadian salah rute itu membuatku kesal dan berujung misuh-misuh di grup. Menyalahkan temanku yang tadi menyarankan untuk naik dari halte B karena busnya ‘pasti’ ada (tapi malah nggak ada). Tenang, marah-marahnya sambil bercanda dengan perang stiker kok, bukan marah yang serius. Namun, rasa kesalku serius. Aku tidak menyalahkan siapa-siapa, hanya saja keinginanku untuk cepat sampai rumah tertunda. Ada saja halangannya, entah dari mana.

“Pasti perjalanan pulangnya akan lebih lama,” pikirku. Mana bertepatan dengan jam pulang kerja, pasti jalannya macet. Aku sudah terbayang-bayang, “Magrib di jalan nih pasti. Nanti salatnya di mana ya? Desak-desakan di bus dengan kaki lecet. Sampai rumah jam berapa ya? Naik rute yang biasa aja satu jam perjalanan tanpa macet, kalau macet bisa dua jam. Ini malah salah rute, makin jauh dari tujuan, lewat jalan yang belum pernah aku lewati. Berapa jam perjalanan sambil berdiri di bus ya?”

Aku melakukan perjalanan pulang melawan semua kemungkinan skenario terburuk dari kepalaku. Rasanya seperti … aku yakin ‘pasti bakal begini’, tapi ya udah ‘jalanin aja’ dulu. Sebab hanya ini satu-satunya jalan pulang dari sini.

Lalu, kamu mau tahu apa yang selanjutnya terjadi? Rute yang awalnya aku kira ‘lebih menyusahkan’ itu, malah ‘mempermudahku’ dari banyak sisi. Perjalanan yang seharusnya satu jam dengan rute biasanya (dan mungkin saja dua jam pada jam pulang kerja) malah menjadi 40 menit melalui rute ini. Ketika aku malah mengikuti rute yang tidak aku rencanakan, rute yang aku pikir akan menyusahkan, rute yang seharusnya jauh lebih lama dari rute biasanya … ternyata semua dugaan buruk-ku salah.

Rute yang aku kutuk beberapa menit lalu, ternyata malah mengantarkanku sampai ke tujuan dengan lebih cepat.

Pengalaman ini seakan menamparku dengan fakta bahwa aku tidak sehebat itu untuk marah-marah, padahal tidak ada sedikitpun hal yang aku tahu tentang masa depan. Aku jadi sadar, mungkin saja, perjalananku kemarin adalah cara Allah menyadarkanku bahwa selama ini aku sedang tersesat.

Ini bukan lagi soal rutenya, mungkin aku juga tersesat oleh pikiranku sendiri.

Aku terlalu cepat marah saat mendapatkan suatu kendala. Cepat mengambil keputusan untuk bersikap sesuka aku tanpa memikirkan baik dan buruknya. Aku terlalu cepat menyimpulkan suatu hal pasti akan berakhir buruk jika tidak sesuai rencanaku. Intinya, aku ‘terlalu cepat’ dan terburu-buru dalam melakukan sesuatu. Aku tak pernah mencoba ‘perlahan’ sesuai dengan ritme-ku.

Aku tidak pernah memikirkan kemungkinan lainnya. Aku hanya fokus dengan peluang buruk, tanpa pernah menimbang peluang baiknya. Apa kamu juga punya pengalaman serupa denganku?

Kala itu, sesampainya di rumah, aku baru terpikirkan bahwa salah rute hanyalah suatu hal yang normal. Semua orang mungkin saja untuk tersesat. Tidak semua orang selalu pada rute yang tepat. Salah rute bukanlah suatu kesialan ataupun hal buruk. Salah rute mungkin saja menjadi perjalanan berharga yang tak terduga, sebab yang berbeda dari biasanya bukankah memang susah untuk dilupakan?

Ya, aku menyesal. Seharusnya tadi tidak perlu misuh-misuh. Semua bisa selesai lebih mudah jika aku menerimanya lebih cepat dan tidak memperbesar masalah. Toh meskipun aku salah rute, bukan berarti aku tidak bisa menikmati perjalanannya. Hari ini tetap menyenangkan, terlepas dari keadaan kakiku yang lecet. Kabar baiknya, meski melelahkan, aku berhasil tiba di rumah dengan selamat. Dan keselamatan untuk terhindar dari hal buruk merupakan suatu rezeki dari Allah.

Jadi, bukankah aku seharusnya bersyukur?

Aku tidak berniat menceramahi siapa pun. Melalui tulisan ini, aku ingin mengingatnya, meninggalkan catatan kecil untuk diriku sendiri. Sehingga, mungkin aku di masa depan nanti dapat membacanya lagi. Untuk mengingat kembali kejadian ini & tidak melupakan pelajaran berharganya.

Kalau kamu merasa salah jalan, meski kamu sudah kesal, capek, dan pengen nyerah saja. Mau balik lagi ke posisi awal nggak bisa karena sudah terlanjur ‘nyemplung’. Namun, bukannya dimudahkan, kamu malah diarahkan ke rute yang lebih jauh dari tujuan. Bukan rencanamu, tapi dunia berjalan seperti itu, sesuai rencana-Nya. Mungkin kamu kesal, rasanya kayak, “Woi, kenapa dunia nggak berpihak sama aku?”

Eitsss tenang dulu. Mungkin saat itulah ada campur tangan tuhan. Mungkin rencanamu tidak semulus yang kamu kira. Mungkin jika dengan rencanamu perjalanannya akan lebih lama. Ya, itu semua memang hanya kemungkinan—yang belum tentu dapat kita terima saat kemungkinan itu menjadi kenyataan. Bagaimana jika rute yang tidak kamu harapkan ternyata malah yang terbaik untukmu?

Mengapa bukan rencana kita, mengapa harus sesuai rencana-Nya? Jika dicari jawabannya … saat ini mungkin kita belum bisa mendapatkan kepastian apa-apa. Sebab semua hal itu adalah kemungkinan yang harus berani kita hadapi. Namun, setidaknya kamu dapat berpegang dengan satu hal. Rencana-Nya tak akan mengecewakanmu. Sehingga, untuk menjalaninya tak perlu takut berlebihan. Sebab kamu percaya, jika itu rencana-Nya, tidak ada hal yang bisa diragukan. Semuanya sempurna.

Jadi, jangan terus-terusan melihat rute orang lain. Tidak perlu iri berlebihan dengan kecepatan rutenya mereka, sementara kita malah tersesat. Siapa tahu kita tersesat untuk menemukan rute baru yang lebih baik? Siapa tahu kita harus berjalan lebih jauh, untuk lebih cepat sampai tujuan? Mungkin sulit dihitung melalui kalkulator manusia, tapi nggak ada yang nggak mungkin untuk-Nya. Tidak ada yang bisa menebak apa rencana tuhan, tapi pasti selalu yang terbaik untuk kita pada akhirnya. Maka dari itu, lebih baik kita fokus sama rute kita sendiri.

Salah rute tidak harus tentang perjalanan dari suatu tempat. Salah rute bisa banyak berarti hal. Merasa salah jurusan misalnya? Upsss wkwkwkwk. (Sendirinya juga begitu)

Saat ini, kita mungkin tidak punya jawaban yang pasti karena belum waktunya. Terdengar klise, tapi aku percaya. Akan datang suatu waktu di mana aku tidak lagi menyesali pilihanku karena merasa ‘salah rute’ ini. Masa ketika aku dapat mengerti mengapa saat itu aku diarahkan mengikuti rencana-Nya? Mengapa bukan rencanaku? Serta pertanyaan-pertanyaan lainnya, semua akan mendapatkan jawabannya. Satu per satu.

Sama seperti yang sedang kita lakukan sekarang, jalani saja. Perlahan. Selesaikan semuanya pelan-pelan. Sesuai kecepatan diri kita. Dari satu per satu hingga semuanya menjadi satu kesatuan yang akan mengantarkanmu menuju ‘waktu yang tepat’.

Bukankah kita tidak bisa hanya menunggu? Kita juga harus menjemputnya, dengan segenap usaha yang kita bisa … dan doa sebagai perisainya.

// ♡´・ᴗ・`♡

Komentar

Postingan Populer